28 May 2009

CHUCK NORRIS: GOD`S PLAN

Lahir dengan nama Carlos Ray pada tahun 1940, "Chuck" kecil tumbuh tanpa seorang ayah. Sosok ayah yang sempat diingatnya adalah seorang pria yang kasar dan suka mabuk, yang kemudian pergi meninggalkan keluarganya. Meninggalkan ibu serta adik-adiknya begitu saja. Kehilangan figur ayah membuat Chuck menjadi seorang yang pemalu, tidak pernah berprestasi dalam olahraga, apalagi dalam pergaulan. Chuck selalu minder dan dihindari teman-temannya.

Chuck si pemalu dan ramah ini kemudian masuk ke Angkatan Udara, dan ditugaskan di Korea. Di tanah ginseng inilah ia secara tidak sengaja mempelajari seni bela diri Tae Kwon Do. Dan di negeri ini jugalah untuk pertama kali teman-teman di baraknya memberi nama julukan "Chuck" yang berarti usapan, karena keramahan dan kelembutannya. Kemudian penambahan nama Norris diambil dari marga ibunya. Dalam seni bela diri, Chuck seperti menemukan jati dirinya. Suatu hal di mana dia tidak perlu berkomunikasi dengan orang lain atau pun bekerja dalam satu tim. Yang perlu dia lakukan hanyalah berlatih keras dan lebih keras lagi, dalam kesendirian yang dinikmatinya.

Ketekunannya di dalam dunia bela diri, membuahkan hasil. Chuck diminta mempertunjukkan keahliannya dalam sebuah acara besar yang dihadiri seluruh Angkatan Udara Amerika Serikat. Sebelum mempertunjukan kebolehannya, dia diharuskan untuk memberikan sebuah pidato singkat sebagai kata sambutan. Chuck pun mempersiapkan pidatonya di atas sehelai kertas dan menghafalkannya. Tiba pada waktunya, ia berdiri di depan ribuan prajurit Angkatan Udara yang menatapnya, Chuck terdiam seribu bahasa di depan mikrofon, sangat gugup dan lupa akan semua kata-kata yang dihafalkannya. Tubuhnya dibanjiri oleh keringat dingin. Ia pun lupa bahwa apakah ia sempat mengatakan sesuatu pada acara itu, yang jelas ia tidak mau mengingat-ingatnya. Baginya, peristiwa itu adalah peristiwa yang paling memalukan dalam hidupnya.

Tidak lama kemudian, prestasinya mendunia. Ia menjuarai enam kali berturut-turut "World Karate Championships", dengan mengalahkan para petarung terhebat kaliber dunia. Dan karena bosan tidak ada lagi yang bisa mengimbanginya, kemudian ia mundur dari kejuaraan itu. Lagipula, seandainya ia tetap ikut dalam kejuaraan itu, para petarung cenderung mundur teratur karena mereka gentar bila harus berhadapan dengannya. Chuck kemudian mendapat penghargaan tertinggi dalam bela diri Korea tersebut, dengan mencapai Ban Hitam tingkat delapan dalam Tae Kwon Do. Dia adalah orang pertama yang berhasil mencapai tingkatan itu sejak 4500 tahun sejarah beladiri Tae Kwon Do didirikan.

Secara bertahap, Chuck mundur dari olahraga bela diri karena tidak menemui lawan yang berarti lagi. Ia kemudian hijrah ke Hollywood yang membuat namanya melambung dan dikenal oleh seluruh orang di dunia. Salah satu debutnya yang terkenal adalah perannya dalam film "Enter The Dragon", sebuah pertarungan yang dikenang dalam sejarah perfilman maupun sejarah bela diri, saat ia bertarung melawan legenda kungfu, Bruce Lee.

Chuck Norris kini menjadi megabintang dan terjun dalam kehidupan glamor selebriti. Pundi-pundi uangnya terus bertambah dari banyak perguruan bela diri miliknya, apalagi setiap buku yang ditulisnya selalu menjadi "best seller". Segera ia masuk dalam jajaran "red carpet" di semua acara selebriti dan segera menjadi teman baiksetiap presiden Amerika Serikat beserta para stafnya.

Merasa Ketakutan

"Ada beberapa perisitiwa yang mengubah hidup saya," ujar bintang film seri "Walker Texas Ranger" ini. (Film ini adalah salah satu film seri yang memiliki episode terpanjang dalam sejarah perfilman, diputar di televisi selama 12 tahun.) "Yang pertama adalah saat saya membesuk Lee Atwater -- mantan ketua kampanye Presiden George Bush, Sr. -- di rumah sakit, Lee adalah orang yang berpengaruh besar dalam hidup saya, dan juga seorang teman dekat saya. Saat saya sampai di rumah sakit, ada begitu banyak orang penting mengantri untuk datang menjenguk, namun mereka tidak bisa masuk. Bahkan banyak keluarga dekatnya tidak diperkenankan masuk. Ia hanya mengizinkan orang-orang tertentu untuk menjenguknya."

"Saat saya sedang bercakap-cakap dengan orang-orang yang menanti di luar, tiba-tiba nama saya dipanggil dan diperkenankan masuk. Saya merasa beruntung saat itu karena dipilih untuk boleh bertemu dengan dia. Saya masuk dan melihat di dalam ruangan sudah ada beberapa orang yang sangat penting, sehingga saya memilih tempat di pojok ruangan dan melihatnya dari jauh. Saya melihat Lee sedang sekarat, usianya jauh lebih muda dari saya, baru 30-an tahun. Dia yang biasanya begitu bersemangat dan selalu menginspirasi banyak orang, kini sedang terbaring lemah tak berdaya, bergulat dengan maut karena sebuah tumor besar di kepalanya, dan tidak ada satu pun yang dapat dilakukan dokter untuk menyelamatkannya."

"Lee memandang aku dengan lemah, dan melambai agar aku mendekat. Aku harus menunduk untuk mendengar dia berbisik karena dia sudah sangat lemah untuk berbicara secara normal. Katanya perlahan, `Chuck, percayalah pada Tuhan, aku mengasihimu ....` Aku terkejut mendengar hal itu, seperti terpukul keras. Aku mundur perlahan darinya dan keluar dari tempat itu dengan sangat terkejut. Aku tahu itu adalah kata-kata terakhir Lee bagiku. Entah sudah berapa kali aku mendengar kata-kata itu dari para rohaniwan, tetapi semua itu seakan hanya lewat begitu saja seperti sebuah sampah bagiku. Sekarang aku mendengarnya dari sahabatku sendiri yang sedang berada di ujung kematian, sebuah pesan terakhir yang sangat penting, tidak mungkin dia menyia-nyiakan napas terakhirnya untuk berbicara padaku kalau itu tidak begitu penting."

"Aku duduk terdiam di dalam mobil dan mulai menangis, mengingat kehidupanku selama ini. Aku telah terlalu jauh dari Tuhan, terhisap dan terjebak dalam gemerlap kehidupan seorang bintang, membuat hidupku berantakan. Keluargaku berantakan, dan aku bukan ayah yang baik bagi anak-anakku. Melihat sahabatku sedang menjelang maut, membuat diriku merasa sangat dekat akan maut juga. Sebelumnya, aku tidak pernah takut pada apa pun, bahkan dalam pertarungan bela diri hidup dan mati, tapi kini aku merasa sangat gentar. Aku merasa hidupku menjadi sangat rapuh, dan aku tersadar bahwa semua kekuatanyang telah kubangun selama ini ternyata tidak bisa menghindarkan aku dari maut."

Malam yang Mencekam

Tapi peristiwa "pesan terakhir" dari Lee Atwater pun berlalu, Chuck kembali sibuk dengan bisnisnya. Kembali tenggelam dalam kehidupan selebritisnya dan hanyut dalam pikiran bagaimana mencari uang lebih banyak lagi. Walaupun begitu, peristiwa itu telah membawanya dalam sebuah pemikiran bahwa ia membutuhkan Tuhan. Peristiwa selanjutnya terjadi tidak lama kemudian. Malam itu adalah malam di mana istrinya, Gena, akan melahirkan bayi kembar. Dokter mengatakan kelahiran ini sangat berbahaya karena ada beberapa komplikasi. Paling kurang salah satu nyawa dipertaruhkan malam itu; kalau tidak ibunya, maka salah satu dari kedua anaknya.

Malam itu sangat mencekam bagi Chuck, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada lawan yang harus dikalahkannya selain rasa takutnya sendiri, tidak ada dokter yang bisa ia bayar untuk menjamin keselamatan keluarganya. Ia menangis, karena sadar uang yang begitu berlimpah di rekeningnya yang dikumpulkan sepanjang kariernya, ternyata tidak dapat menyelamatkannya. Dia lalu teringat, bahwa hanya satu Pribadi yang dapat menyelamatkan keluarganya saat ini, yaitu Yesus. Seorang Pribadi yang lembut dan penuh kasih, yang kepada-Nya ia pernah menyerahkan hidup masa remajanya di suatu KKR Billy Graham. Dan kini ia telah melupakan komitmennya untuk mengikuti Dia, Chuck menangis, merasa begitu berdosa dan telah begitu jauh dari-Nya.

Chuck juga teringat ibunya. Dia adalah seorang ibu yang tangguh membesarkan Chuck serta adik-adiknya sendirian. Ibunya adalah seorang yang rajin berdoa, dan selalu berkata pada Chuck, "Tuhan punya rencana untukmu." Selama ini, ia tidak mengerti apa maksud ibunya itu, ia pikir semua ketenarannya ini adalah rencana Tuhan, sampai di situ saja. Tapi pada peristiwa itu, ia kini menjadi mengerti apa yang berusaha disampaikan oleh ibunya. Malam itu pun ia berdoa, agar Tuhan mengampuni semua dosanya, mengembalikan ia kembali dekat pada-Nya, menyelamatkan istri serta bayinya, dan agar rencana Tuhan seutuhnya tergenapi dalam hidupnya. Sungguh luar biasa, Tuhan memberi tanda bahwa Dia mendengarkan Chuck, dengan menyelamatkan istri dan kedua bayi kembarnya. Malam itu juga Chuck menyerahkan seluruh hidupnya pada Tuhan.

Sejak saat itu, ia menghentikan segala usahanya untuk menambahkan pundi-pundi uangnya, dan terjun sangat aktif dalam kegiatan kemanusiaan yang begitu banyak. Menjadi wakil dan utusan perdamaian, memimpin yayasan-yayasan kemanusiaan, masuk sampul-sampul majalah sebagai "Man Of The Year", dan begitu banyak yang lain. Ia melihat setiap hari Gena membaca Alkitab, karena pada waktu itu Gena sudah terlebih dahulu hidup dekat dengan Tuhan sebelum mengenal Chuck. Melihat hal itu, lama-kelamaan Chuck turut bergabung dalam kegiatan membaca Alkitab. Dan menurutnya, hal itu menjadi sangat menyenangkan dan dinikmatinya, membaca Alkitab bersama istrinya setiap hari.

Orang sering datang pada Chuck dan berkata, "Chuck, engkau adalah orang paling beruntung di dunia. Juara karate tak terkalahkan, bintang film terkenal, dan penulis buku-buku terlaris. Tidak ada orang seberuntung engkau di dunia!" Chuck menjawab dengan tersenyum ramah, "Keberuntungan tidak ada hubungannya dengan itu semua, Tuhanlah yang berhubungan dengan itu semua."

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul majalah: VOICE Indonesia, Edisi 83, Tahun 2006

Penulis: LM (dari berbagai sumber)

Penerbit: Communication Department -- Full Gospel Business`s Men

Fellowship International -- Indonesia: Yayasan Usahawan

Injil Sepenuhnya Internasional (PUISI), Jakarta 2006 Halaman: 4 -- 9


27 May 2009

Programming Visual Basic 2005 Release

Programming Visual Basic 2005 Programming Visual Basic 2005 O'Reilly Media, Inc. This information-packed guide helps you understand Visual Basic 2005, the next-generation release of the popular Visual Basic programming language. This book aims to make you immediately productive in creating Windows and web applications using Visual Basic 2005 and all of its tools. Perfect for experienced VB6 and novice programmers.

Visual Basic 2005 in a Nutshell

Visual Basic 2005 in a Nutshell Visual Basic 2005 in a Nutshell O'Reilly Media, Inc. Newly updated, this classic detailed reference to the Visual Basic programming language has been reorganized to cover all the ins and outs of Visual Basic 2005, including new features like Generics, My Namespace, and operators. An alphabetical reference to Visual Basic 2005 statements, procedures, functions, and objects makes sure you follow along. Ideal for developers, programmers, and anyone learning VB as a first language.

Programming Visual Basic 2005

Visual Basic 2005 Cookbook Visual Basic 2005 Cookbook O'Reilly Media, Inc.

This book will help you solve more than 300 of the most common and not-so-common tasks that working Visual Basic 2005 programmers face every day. If you're a seasoned .NET developer, beginning Visual Basic programmer, or a developer seeking a simple and clear migration path from VB6 to Visual Basic 2005, the Visual Basic 2005 Cookbook delivers a practical collection of problem-solving recipes for a broad range of Visual Basic programming tasks. It's sure to save you time, serving up the code you need, when you need it.

13 May 2009

Apakah Engkau Yesus?

Beberapa tahun yang lalu, sekelompok salesmen menghadiri pertemuan sales di Chicago. Mereka telah meyakinkan istri-istri mereka bahwa mereka akan mempunyai cukup waktu untuk makan malam bersama di rumah pada hari Jumat. Namun, sales manager menghabiskan lebih banyak waktu daripada yang telah diperkirakan dan pertemuan berakhir lebih lambat daripada yang telah dijadwalkan. Akibatnya, dengan tiket pesawat dan tas mereka di tangan, mereka berlari menerobos pintu airport, tergesa-gesa, mengejar penerbangan mereka pulang. Ketika mereka sedang berlari-lari, salah satu dari para salesman ini tidak sengaja menendang sebuah meja yang digunakan untuk menjual apel. Dan apel-apel itu beterbangan. Tanpa berhenti atau menoleh ke belakang, mereka semua akhirnya berhasil masuk ke dalam pesawat dalam detik-detik terakhir pesawat itu tinggal landas.

Semua, kecuali satu. Dia berhenti, menghela napas panjang, bergumul dengan perasaannya lalu tiba-tiba rasa kasihan menyelimuti dirinya untuk gadis yang menjual apel. Ia berkata kepada rekan-rekannya untuk pergi tanpa dirinya, melambaikan tangan, meminta salah satu temannya untuk menelpon istrinya ketika mereka sampai di tempat tujuan untuk memberitahukan bahwa ia akan mengambil penerbangan yang berikutnya. Kemudian, ia kembali ke pintu terminal yang berceceran dengan banyak sekali buah apel di lantai.


Salesman ini merasa lega ketika ia tiba disana. Gadis yang berumur 16 tahun ini buta! Gadis tersebut sedang menangis sesegukan, air matanya mengalir turun di pipinya, dan gadis itu sedang berusaha untuk meraih buah-buah apel yang bertebaran di antara kerumunan orang-orang yang bersliweran di sekitarnya, tanpa seorang pun berhenti, atau pun cukup peduli untuk membantunya.

Salesman itu berlutut di lantai di sampingnya, mengumpulkan apel-apel tersebut, menaruhnya kembali ke dalam keranjang dan membantu memajangnya di meja seperti semula. Seketika itu, ia menyadari bahwa banyak dari apel-apel itu rusak, dan ia mengesampingkan apel yang rusak ke dalam keranjang yang lain.

Setelah selesai, pria ini mengeluarkan uang dari dompetnya dan berkata kepada si gadis penjual, "Ini, ambillah $20 untuk semua kerusakan ini. Apakah kau tidak apa-apa?" Gadis itu mengangguk, masih berlinang air mata.

Pria itu melanjutkan dengan, "Saya harap kita tidak merusak harimu begitu parah."
Ketika pria ini mulai beranjak pergi, gadis penjual yang buta ini memanggilnya, "Tuan..."
Pria ini berhenti, dan menoleh ke belakang untuk menatap kedua matanya yang buta.
Gadis ini melanjutkan, "Apakah engkau Yesus?"
Ia terpana. Kemudian, dengan langkah yang lambat ia berjalan masuk untuk mengejar penerbangan berikutnya. Dan pertanyaan itu terus menerus berbicara di dalam hatinya, "Apakah kau Yesus?"



MyFriendz....Apakah orang-orang mengira engkau Yesus? Bukankah itu tujuan hidup kita? Untuk menjadi serupa dengan Yesus sehingga orang-orang tidak dapat melihat perbedaannya ketika kita hidup dan berinteraksi di dalam dunia yang buta dan tidak mampu melihat kasih, anugrah dan kehidupanNya... Jika kita mengakui bahwa kita mengenal Dia, kita harus hidup, berjalan, dan bertindak seperti Yesus. Mengenal Yesus adalah lebih dalam daripada hanya sekedar mengutip kata-kata dari Alkitab dan pergi beribadah di gereja. Mengenal Yesus adalah menghidupi FirmanNya hari demi hari. Kita adalah seperti buah apel tersebut di mata Allah meskipun kita rusak dan menjadi cacat ketika kita terjatuh. Allah berhenti mengerjakan apa yang sedang Ia kerjakan, mengangkat kamu dan saya ke suatu bukit yang bernama Kalvari dan membayar penuh semua kerusakan kita. Mari mulai jalani hidup sesuai dengan harga yang telah dibayarkanNya....

Resep Menjalani Hidup

Suatu hari aku memutuskan untuk berhenti. Berhenti dari pekerjaanku,
Berhenti dari hubunganku dengan sesama dan berhenti dari spiritualitasku.
Aku pergi ke hutan untuk bicara dengan Tuhan untuk yang terakhir kalinya. "Tuhan", kataku. "Berikan aku satu alasan untuk tidak berhenti?"

Dia memberi jawaban yang mengejutkanku. "Lihat ke sekelilingmu", kataNya. "Apakah engkau memperhatikan tanaman pakis dan bambu yang ada di hutan ini?" "Ya", jawabku.

Lalu Tuhan berkata, "Ketika pertama kali Aku menanam mereka, Aku menanam dan merawat benih-benih mereka dengan seksama. Aku beri mereka cahaya, Aku beri mereka air, dan pakis-pakis itu tumbuh dengan sangat cepat. Warna hijaunya yang menawan menutupi tanah, namun tidak ada yang terjadi dari benih bambu, tapi Aku tidak berhenti merawatnya."

"Dalam tahun kedua, pakis-pakis itu tumbuh lebih cepat dan lebih banyak lagi. Namun, tetap tidak ada yang terjadi dari benih bambu, tetapi Aku tidak menyerah terhadapnya."

"Dalam tahun ketiga tetap tidak ada yang tumbuh dari benih bambu itu tapi Aku tetap tidak menyerah. Begitu juga dengan tahun ke empat. "

"Lalu pada tahun ke lima sebuah tunas yang kecil muncul dari dalam tanah.
Bandingkan dengan pakis, yang kelihatan begitu kecil dan sepertinya tidak
berarti. Namun enam bulan kemudian, bambu ini tumbuh dengan mencapai ketinggian lebih dari 100 kaki. Dia membutuhkan waktu lima tahun untuk menumbuhkan akar-akarnya. Akar-akar itu membuat dia kuat dan memberikan apa yang dia butuhkan untuk bertahan. Aku tidak akan memberikan ciptaanku tantangan yang tidak bisa mereka tangani."

"Tahukah engkau anakKu, dari semua waktu pergumulanmu, sebenarnya engkau sedang menumbuhkan akar-akarmu? Aku tidak menyerah terhadap bambu itu, Aku juga tidak akan pernah menyerah terhadapmu. "

Tuhan berkata, "Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Bambu-bambu itu memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan pakis tapi keduanya tetap membuat hutan ini menjadi lebih indah."

"Saatmu akan tiba", Tuhan mengatakan itu kepadaku. "Engkau akan tumbuh sangat tinggi." "

Seberapa tinggi aku harus bertumbuh Tuhan?" tanyaku. "Sampai seberapa tinggi bambu-bambu itu dapat tumbuh?" Tuhan balik bertanya. "Setinggi yang mereka mampu?" aku bertanya.

"Ya." jawabNya "Muliakan Aku dengan pertumbuhan mu, setinggi yang engkau dapat capai."

Lalu aku pergi meninggalkan hutan itu, menyadari bahwa Allah tidak akan
pernah menyerah terhadapku dan Dia juga tidak akan pernah menyerah
terhadap Anda.

Jangan pernah menyesali hidup yang saat ini Anda jalani sekalipun itu
hanya untuk satu hari. Hari-hari yang baik memberikan kebahagiaan;
hari-hari yang kurang baik memberi pengalaman; kedua-duanya memberi arti bagi kehidupan ini.

Mengenal Tujuan Allah

Renungan ini saya dapat di saat teman saya mulai merasa capek. bukan capek secara jasmani saja tetapi juga capek secara rohani.

Beberapa saat yang lalu sayapun mengalami hal yang sama seperti apa yang teman saya rasakan, yaitu perasaan capek dan sepertinya sudah mau menyerah. Sebenarnya yang membuat perasaan itu adalah diri kita sendiri. karena seperti yang tertulis dalam firman Tuhan bahwa musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Masih ingat akan buah2 roh kudus?... jika musuh yang terbesar adalah diri sendiri maka yang harus kita lakukan adalah "penguasaan diri". Sudahkah kita menguasai diri kita sendiri?... jika sudah maka sebaiknya kita percayakan semuanya kepada Tuhan. karena ada tertulis "percayalah dengan segenap hatimu,jiwamu,dan akal budimu".

Bukan suatu kebetulan jika Tuhan menempatkan saya di kota yang terletak di tengah2 pegunungan. Ya, sebuah kota kecil yang mengharuskan saya mengemudi sejauh 1,5 jam untuk ke gereja. Mula-mula saya menikmati perjalanan saya ke gereja 2x seminggu, tetapi perlahan-lahan saya merasa bosan dan capek jika harus menghabiskan 3 jam pulang pergi di perjalanan.

Suatu saat ketika saya dalam perjalanan ke gereja, saya melihat di sekeliling saya tampak begitu banyak pohon cemara yang tumbuh di atas batu2an di pegunungan disekeliling saya. Saat itu hati saya berkata " apakah cemara2 ini tidak bosan berada di atas batu2 itu?...mengapa cemara ini harus tumbuh di atas batu tersebut?.... dan bagaimana mungkin cemara itu bisa bertahan melewati cuaca yang panas dan dingin di atas batu itu?..." berjuta pertanyaan timbul dalam hati saya, tapi hanya satu jawaban Tuhan " bahwa semua itu terjadi supaya rencana Tuhan di genapi dan Tuhan punya tujuan dalam setiap rencanaNYA.

Karena itu saudaraku, janganlah kita menilai kemampuan diri kita menurut pandangan kita sendiri tetapi bersyukurlah karena Tuhan menciptakan kita secara unik dan sesuai dengan rencanaNYA untuk menggenapi FirmanNYA. Perasaan lelah, bosan dan capek pasti ada tetapi jika hati kita penuh dengan ucapan syukur maka semuanya itu akan bisa teratasi. Ingatlah bahwa Tuhan menciptakan kita dengan suatu tujuan dan tujuan tersebut adalah untuk menyatakan kemuliaanNYA pada seluruh bangsa dan bahkan seluruh dunia. Tanamkan dalam hatimu bahwa Tuhan akan menyertaimu dalam setiap langkahmu dan kamu takkan pernah sendiri. percayakan masa depanmu di dalam tangan Tuhan dan tetap setia dalam pelayananmu karena Tuhan menghitung air matamu dan jerih payahmu tidak akan sia2.

Biar kiranya damai sejahtera Allah menyertai kita semua sekarang hingga selama-lamanya.

Tantangan Hati


Pernahkah kita mengalami hal seperti ini? ... ketika berniat untuk meninggalkan suatu perbuatan yang salah, terasa berat untuk "menang" sebab sepertinya tekanan pencobaan datang lebih keras dan kuat dari sebelumnya....


Adakah penjelasan ttg kasus di atas?

Tuhan Yesus menjelaskan fenomena ini dalam Lukas 11:24-26, Bahwa roh jahat ketika mengembara akan berpikir untuk kembali ke tempat semula .....................dan ketika mendapati rumah yg semula bersih dan teratur, ia akan mengundang roh jahat yg lain sehingga rumah itu akan makin kacau dari semula.

Setelah diperbaharui oleh Yesus, "Hati manusia" diperumpamakan sebagai rumah yg bersih dan rapi ttp yang mudah dihinggapi oleh roh jahat jika rumah tak berpenghuni.



Karena itu perhatikanlah bawah Roh Kudus sbg "penghuni" memegang peranan penting. Karena Dialah yang akan memelihara dan menjaga hati manusia. Roh jahat tidak akan pernah bisa mengambil alih posisi Roh Kudus tsb, jika kita benar2 telah menaruh posisi Roh Kudus sebagai penjaga hati kita. Roh Kudus akan aktif berperan setelah dengan rendah hati kita mengakui ketidakmampuan kita dan mengundang Dia. Sebaliknya boleh dikatakan Roh Kudus sangat menghormati keputusan manusia, shg tidak pernah memaksa masuk ke dalam hati manusia itu tanpa diundang walau Dia mampu melakukannya.



Dan selanjutnya ada hal lain mengapa Roh Kudus itu tidak bisa tinggal dalam hati manusia..?



Ada semacam ketakutan manusia untuk menerima Roh Kudus secara total. Hal ini perlu dikaji secara rohani. Kemerdekaan yg ditawarkan seperti ikatan yg membelenggu.



Tanpa kita sadari, bagian keengganan kita itu menjadi penghalang yang hampir tak terlihat dalam penyerahan hidup kita padaNya. Memang ada bagian yg kita harus kerjakan, dg tangan kita ttp semua tp kata salomo, hasilnya tetap Tuhanlah yg menentukan.



Penyimpangan kebenaran memang sedang terjadi. Kebanyakan orang percaya bahwa pada dasarnya bagian2 dalam kesuksesan adalah eksternal effect yang bisa diraih dengan usaha yg maksimal disertai dg optimisme. Raja Daud membantah hal ini setelah mengadakan penelitian thd kesuksesan orang diluar Tuhan. Raja Daud mendapatkan bahwa ternyata kesuksesan orang fasik itu adalah bagaikan berdiri dan berjalan di tanah yg licin dan arahnya kepada kebinasaan. Artinya mudah tergelincir dan jatuh dan tidak pernah bangkit lagi...



Ttp ada bantahan seperti ini ....oohhh itu tidak di dunia ini banyak kok orang sukses diluar Tuhan.... dan jumlahnya melebihi orang benar yg sukses....!!!!



Memang benar.... tetapi pertanyaannya adalah apakah mereka adalah orang yang sama yang tetap tegak berdiri? Ada banyak bukti bahwa hanya orang benarlah yg lebih tahan lama alias awet bahkan dikatakan anak cucunya tidak pernah menjadi peminta2 bahkan menjadi berkat. Karena memang rancangan Tuhan adalah damai sejahtera. Sebaliknya orang fasik itu sepertinya cuma suksesnya yg awet tp orangnya terus berganti......



Oleh karena itu jangan biarkan roh jahat membingungkan kita. Berkat Tuhanlah yg membuat kita sukses dan bahagia dan bukan jerih payah kita...(mksdnya kita bekerja keras tp tetap yg menentukan yg sukses adalah Tuhan)

Oleh karena itu ambillah sikap ini:



Dengan mendengar aku mau menerima. Dengan melihat aku mau bertindak. Namun kebahagiaan kita terletak dalam menerima Allah...

BILLY BERTOBAT

Para gadis mengelu-elukan bintang bola basket dan baseball muda itu
di SMA Sharon, dekat Charlotte, negara bagian North Carolina. Pemuda
itu berharap bahwa suatu hari nanti ia dapat menjadi seorang pemain
baseball utama di klub baseball besar. Jika tidak demikian, ia
berpikir untuk menjadi seorang petani seperti ayahnya.

Billy berusia tujuh belas tahun pada saat Mordecai Ham, seorang
petinju bayaran yang telah menjadi penginjil, datang ke kota
Charlotte. Mordecai Ham adalah seorang penginjil yang berapi-api dan
suka menunjuk orang-orang yang berdosa secara langsung.
Pemimpin-pemimpin gereja di kota Charlotte menganggap Mordecai Ham
sebagai pengganggu. Mereka menolak permintaan izinnya untuk
membangun sebuah tenda. Namun, dengan pertolongan orang-orang awam,
bekas petinju itu memasang tenda tepat di luar batas kota.

Ia sudah mengadakan kebangunan rohani selama beberapa minggu ketika
Billy -- seorang pemuda tinggi ramping, berambut ikal dan
pirang -- datang. Setiap Minggu, Billy pergi ke gereja dengan orang
tuanya yang saleh. Ia tidak merokok maupun minum minuman keras.
Namun demikian, ada hal-hal lain yang harus dilakukannya dan
walaupun ayahnya seorang pendukung kuat Mordecai Ham, Billy tidak
berusaha untuk menghadiri kebangunan rohani itu sebelumnya.

Pengunjung kebangunan rohani itu cukup banyak bagi kota
Charlotte -- lima ribu orang. Orang-orang berkata bahwa hal itu
merupakan hal terbesar yang pernah dialami oleh penduduk negara
bagian Carolina. Billy dan temannya di SMA berjalan melewati jalan
kecil di antara deretan bangku dan duduk di bangku yang keras.

Khotbah yang disampaikan pengkhotbah berbadan besar itu sangat tidak
berkesan bagi Billy sampai pengkhotbah itu mengacungkan jari
menunjuk ke arah Billy dan berteriak, "Kamu berdosa!"

Billy -- yang selalu siap menangkap bola -- tidak siap untuk main
tangkap-tangkapan dengan pengkhotbah itu. Ia menundukkan kepalanya
yang berambut pirang dan bersembunyi di belakang topi seorang wanita
di depannya.

Dua malam kemudian Billy datang lagi dan membawa seorang teman,
namanya Albert McMakin. Selama beberapa malam selanjutnya, kedua
orang itu hadir bersama-sama. Penginjil yang berapi-api itu terus
meyakinkan Billy bahwa ia harus memilih: surga atau neraka.

Pada suatu malam, Billy membawa seorang teman lain, namanya Grady
Wilson. "Mari kita duduk di bagian paduan suara," usul Billy
walaupun ia tahu ia tidak dapat menyanyi. Maka kedua orang itu duduk
di belakang mimbar (tempat paduan suara), selamat dari pandangan
pengkhotbah yang suka memukul mimbar itu.

Mordecai Ham tidak menunjukkan jarinya kepada Billy malam itu, namun
demikian Billy mendapat pukulan dari khotbahnya, pada saat
pengkhotbah itu berkata, "Malam ini ada orang yang sangat berdosa di
sini."

"Ia mengatakan tentang saya," pikir Billy, "seseorang pasti telah
memberitahu dia bahwa saya ada di sini."

Pengkhotbah itu mengakhiri khotbahnya dan memberi undangan bagi
orang-orang yang mau bertobat. Billy menahan napasnya pada saat
paduan suara itu mulai menyanyi. Setelah menyanyi sebentar, ia tidak
dapat bertahan lagi. "Ayo, Grady," ia berkata kepada temannya.

Kedua orang itu turun dari paduan suara dan berdiri di depan.
Mengingat saat ketika ia membuat keputusan, Billy berkata, "Hal itu
seperti tinggal di luar pada hari gelap dan sinar matahari menembus
melalui lapisan awan. Segalanya tampak berbeda. Untuk pertama
kalinya saya merasakan sukacita dilahirkan kembali."

Sejak malam yang penuh kenangan pada tahun 1936 itu, Billy Graham
terus berkhotbah kepada lebih banyak orang daripada almarhum Pendeta
Mordecai Ham, orang yang telah membimbingnya kepada Kristus.
Sebenarnya ia telah berkhotbah kepada lebih banyak orang secara
langsung daripada pengkhotbah-pengkhotbah lainnya dalam sejarah --
lebih dari dua puluh juta orang. Namun demikian, yang lebih penting
lagi, ia telah meyakinkan puluhan ribu orang untuk bertobat dan
berlutut kepada Kristus.

Diambil dan diedit seperlunya dari:
Nama situs : Pemuda Kristen
Judul asli artikel: Billy Bertobat - Billy Graham
Penulis : James C. Hefley
URL : http://www.pemudakristen.com/artikel/hidup_karena_berpaling.php

Catatan: artikel di atas dapat ditemukan dalam versi tercetak pada
buku "Bagaimana Tokoh-Tokoh Kristen Bertemu dengan Kristus" karya
James C. Hefley, terbitan Yayasan Kalam Hidup.

KESAKSIAN DWI KRISMAWAN & BETHANIA EDEN

JAWABAN.com - Sejak kecil saya memang memiliki harapan. Saya memegang impian kelak kalau saya sudah besar saya ingin jadi pilot. Tiap kali ada pesawat yang lewat diatas rumah saya bilang : “Saya ingin jadi pilot!”. Begitu besar harapan dan impian tersebut, saya nyatakan dalam mainan saya dimana saya mempunyai kolekasi berbagai macam model pesawat. Semakin lama harapan dan impian untuk menjadi seorang pilot menjadi semakin besar.

Tahun 1992 Dwi Krismawan diterima di Sekolah Tinggi Penerbangan Curug. Dengan bangga dan penuh harapan, ia menjalani hari-harinya untuk menjadi seorang pilot yang handal.

Setelah satu tahun saya menjalani sekolah penerbangan tersebut, tanggal 28 Januari 1997 dimana tinggal tiga bulan lagi saya akan diwisuda, jam 6 pagi dengan menggunakan pesawat jenis FG-10, saya dan instruktur terbang pada ketinggian sekitar 2000 kaki, menuju kota Jasinga Bogor.

Pagi itu cuaca kurang begitu bagus, tapi instruktur saya memaksakan untuk melanjutkan latihan. Ternyata hari itu adalah penerbangan saya yang terakhir. Tiba-tiba pesawat yang saya naiki menabrak punggung gunung Gede Jawa Barat.

Pesawat jenis FG-10 itu meledak dan hancur. Mengerikan sekali, kecelakaan ini mengakibatkan 50% tubuh Dwi terbakar.

Bethania Eden, yang kini menjadi istri Dwi mengenang musibah itu.
Pagi hari sebelum Dwi terbang, dia telepon saya sekitar jam 5 pagi.
Dia janji akan telepon saya sekitar jam 8 pagi setelah di landing. Saya tunggu ternyata dia tidak telepon. Sekitar jam 10 pagi datang telepon yang memberitahu bahwa pesawat yang ia naiki bersama instrukturnya mendapat kecelakaan menabrak punggung gunung Gede. Statusnya saya tidak bisa bertemu dengan Dwi. Saya hanya mendengar kabar dari temannya bahwa kondisi Dwi kritis dan dia koma.

Sejak awal memang hubungan Dwi dan Bethania atau yang dipanggil Ibeth telah ditentang oleh orang tua Dwi karena perbedaan latar belakang keluarga. Oleh karena itu Ibeth tidak diperbolehkan untuk melihat keadaan Dwi.

Hari keempat saya jumpai dokter sudah mulai gelisah, mondar mandir dan orang tuanya menangis. Disitu saya mulai curiga apa yang terjadi di dalam. Saya satu-satunya orang yang tidak tahu kondisi dia didalam seperti apa. Saya hanya bisa tanya pada temannya, tapi temannya tidak mau memberitahu apa-apa karena setiap kali saya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Dwi, setiap kali itulah saya menerima penolakan. Pertama mereka menganggap saya adalah pembawa sial dan saya tidak boleh dekat dengan anaknya.
Pada saat itu saya sedih sekali, saya cuma bisa pergi ke kapel. Disitulah saya berkomitmen pada Tuhan. Saya katakan : “Tuhan jangan ambil kekasih saya. Tuhan kalau Engkau kembalikan dia kepadaku maka aku berjanji kepadaMu, apapun yang terjadi di depan, aku akan setia mendampingi dia selama-lamanya”.


Mujizat terjadi menyertai nazar Ibeth.
Begitu saya selesai berjanji, pada saat itulah Dwi siuman. Dan pada saat dia siuman, tanpa dia sadari dia memanggil nama saya. Begitu saya lihat wajah dia saya kaget luar biasa. Saya hampir tidak bisa mengenali wajahnya itu.

Rupa dan tubuh Dwi hancur akibat musibah ini.
Tubuh saya mengalami cacat dimana akibat dari kecelakaan tersebut kepala saya rambutnya hampir tidak bisa tumbuh lagi semuanya, bulu mata maupun alis hilang, kedua kelopak mata tidak sempurna dan kedua daun telinga saya hilang. Jari-jari tangan saya mengalami kontraktur, karena terbakar kedua siku tangan atau tulang rawannya terbakar sehingga siku saya tidak bisa digerakkan. Dan tubuh saya mengalami luka parut maupun luka akibat terbakar.

Dengan keadaan yang parah seperti itu, Dwi harus menjalani 15 kali bedah konstruksi untuk mengembalikan bentuk tubuhnya yang rusak.

Ibeth tetap setia mendampingi Dwi.
Tahun 1999 saya mendapat kabar kalau Dwi akan dikeluarkan dari rumah sakit. Bukan karena sembuh, tapi karena biaya yang dibutuhkan sudah lagi tidak diberikan oleh pemerintah.
Saya juga mendapatkan selentingan kabar kalau orang tuanya akan mengasingkan dia, mengisolasi dia. Saya tidak rela Dwi diperlakukan seperti itu. Saya datang pada orang tua saya, saya katakan bahwa saya akan menikah. Mereka 100% menolak dan tidak setuju punya menantu yang kondisinya seperti Dwi. Tapi saya bersikeras bahwa saya mau menikahi Dwi karena saya tidak mau dia dibawa ke daerah pedalaman itu. Pada akhirnya saya memberanikan diri datang pada orang tua Dwi dan disitulah saya melamar Dwi.

Walau ditentang berbagai pihak, Bethania bersikeras untuk dapat menikahi Dwi. Pada tanggal 17 Juli 1999, pasangan ini dipersatukan dalam sebuah pernikahan kudus.

Ternyata Dwi juga dilanda kebimbangan.
Dalam hati dan pikiran saya ada dua pilihan antara ya dan tidak. Dalam kondisi fisik seperti ini, bagaimana saya bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik, yang bisa menafkahi keluarga saya?. Ditolak, dikucilkan, disepelekan dan tidak dihargai itu semua adalah perasaan yang sangat menyakitkan. Pada saat itu saya berpikir pada saat orang memandang saya seperti itu maka saya adalah orang yang tidak berguna. Saya seolah berpikir bahwa saya adalah sampah yang tidak punya manfaat apa-apa.

Dalam keadaan itulah Ibeth bekerja menguatkan hidup Dwi.
Tapi satu hal yang saya syukuri pada saat itu Ibeth mengatakan bahwa masa depan ada di tangan Tuhan. Jawaban itu kembali menyegarkan dan menetramkan hati saya. Ada beberapa nasehat yang seringkali dia katakan : kalau kamu malu, kamu akan semakin terpuruk tetapi kamu harus belajar menerima kenyataan, belajar menerima apa yang telah terjadi dengan besar hati. Pada saat kamu bisa menerima apa yang sudah terjadi, itu adalah tahap selangkah lebih maju yang sudah kamu raih.
Pada saat itu saya berpikir orang seperti saya akan sulit mendapatkan pekerjaan. Tapi satu hal yang luar biasa, satu saat ada tawaran untuk menjadi seorang sales satu asuransi.

Mulanya Ibeth merasa tawaran ini sebagai ejekan.
Saat itu tawarannya seperti mengejek yang bunyinya : “Pak Dwi, maukah menjadi seorang agen. Lucu kali yah kalau bapak jadi agen, kalau ada klien yang datang, kliennya pasti takut dan langsung kabur.” Dwi sudah mulai down dibilang seperti itu, tapi saya bilang : “Dwi, pekerjaan apapun yang Tuhan titipkan pada kamu, kamu harus lakukan, dalam nama Tuhan maka kamu akan berhasil.” Ternyata benar, dua bulan dikasih waktu mengumpulkan satu klien, tidak sampai dua bulan Tuhan membuka jalan dan dia bisa mengumpulkan klien 45 orang. Tahun 2003 dia bahkan menjadi the best agent disitu.

Rasa percaya diri Dwi secara perlahan pulih.
Rasa percaya diri yang muncul itu tidak datang seketika tetapi empat tahun setelah kecelakaan. Itu bukan waktu yang singkat. Satu hal yang saya yakin dan percaya bahwa Ibeth, kekasih saya yang sekarang sudah menjadi istri, dia adalah seorang penolong yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan saya. Mungkin kalau tidak ada Ibeth yang Tuhan kirimkan dalam hidup saya, mungkin saya menjadi orang gila, atau mungkin saya sudah bunuh diri atau mungkin punya sifat atau karakter tidak seperti saat ini.

Saat ini Dwi dan Bethania telah dikaruniai seorang anak. Dwi juga telah bekerja di sebuah perusahaan media cetak.
Kini dia bahkan mengerti mengapa Tuhan mengijinkan dirinya menjadi “pilot lain”, sesuatu yang diluar angan-angannya.

Dulu saya bercita-cita untuk menjadi seorang pilot yang membawa penumpang dari satu kota ke kota lainnya. Tetapi lewat proses kecelakaan, melalui apa yang saya alami ternyata Tuhan membuat saya menjadi seorang pilot, bukan pilot dunia, tetapi pilotnya Tuhan, karena pada saat saya mengambil bagian dalam pelayanan banyak jiwa dikuatkan, banyak jiwa yang telah jauh dari Tuhan bisa kembali kepada Tuhan. Dari gelap kepada terang, dari neraka menuju ke Surga.(nat)

Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Roma 8:37-39)

10 Cara Menjadi Ayah yang Hebat

  • HORMATILAH IBU ANAK-ANAK ANDA.
    Salah satu hal terbaik yang dapat dilakukan Ayah bagi anak-anaknya adalah menghormati Ibu mereka. Kalau Anda menikah, jagalah pernikahan Anda agar tetap kuat dan penuh vitalitas.
  • LEWATKANLAH WAKTU BERSAMA ANAK-ANAK ANDA.
    Bagaimana seorang Ayah melewatkan waktunya mengatakan apa yang penting baginya. Kalau Anda tampaknya selalu terlalu sibuk untuk anak-anak Anda, mereka akan merasa ditelantarkan, apapun yang Anda katakan.
  • UPAYAKANLAH HAK UNTUK DIDENGARKAN.
    Terlalu sering satu-satunya saat sang Ayah bicara kepada anak-anaknya adalah ketika mereka melakukan suatu kesalahan. Mulailah bicara kepada anak-anak ketika mereka masih kecil, sehingga topik-topik sulit akan lebih mudah ditangani ketika mereka semakin besar. Luangkanlah waktu dan dengarkanlah ide-ide serta persoalan-persoalan mereka.
  • DISIPLINKANLAH DENGAN KASIH.
    Semua anak butuh bimbingan dan pendisiplinan, bukan sebagai hukuman, melainkan untuk menetapkan batasan-batasan yang masuk akal. Ingatkanlah anak-anak Anda akan ganjaran perbuatan mereka dan berikanlah imbalan yang berarti atas perilaku yang diinginkan.
  • MODEL PERAN.
    Para Ayah adalah model peran bagi anak-anaknya, entah mereka menyadarinya atau tidak. Seorang anak perempuan yang melewatkan waktu dengan Ayahnya yang penuh kasih tumbuh dengan pengetahuan bahwa ia pantas diperlakukan dengan hormat oleh anak-anak lelaki, dan apa yang harus dicarinya dalam diri seorang suami. Para Ayah dapat mengajari putera-puteranya apa yang penting dalam kehidupan ini dengan mendemonstrasikan kejujuran, kerendahan hati, dan tanggung jawab.
  • JADILAH GURU.
    Terlalu banyak Ayah yang menganggap bahwa mengajar adalah urusan orang lain. Namun seorang Ayah yang mengajari anak-anaknya tentang yang benar dan yang salah serta mendorong mereka untuk melakukan yang terbaik akan melihat anak-anaknya mengambil pilihan yang baik.
  • MAKANLAH BERSAMA-SAMA KELUARGA.
    Makan bersama-sama (sarapan, makan siang, atau makan malam) bisa menjadi bagian penting dari kehidupan keluarga yang sehat. Selain memberikan struktur pada hari yang sibuk, ini juga memberi anak-anak peluang untuk membicarakan apa yang sedang mereka kerjakan dan apa yang ingin mereka kerjakan.
  • BACAKANLAH CERITA BAGI ANAK-ANAK ANDA.
    Mulailah membacakan cerita bagi anak-anak semenjak mereka masih kecil. Setelah mereka lebih besar, doronglah mereka untuk membaca sendiri. Menanamkan kecintaan untuk membaca adalah salah satu cara terbaik untuk memastikan anak-anak Anda mengalami pertumbuhan pribadi maupun karir seumur hidup.
  • PERLIHATKANLAH KASIH SAYANG ANDA.
    Anak-anak butuh ketenteraman yang berasal dari mengetahui bahwa mereka diinginkan, mereka diterima, dan dikasihi oleh keluarga. Orangtua, terutama para Ayah, perlu membiasakan diri merangkul anak-anaknya. Memperlihatkan kasih sayang setiap harinya adalah cara terbaik untuk memberitahu mereka bahwa Anda sayang kepada mereka.
  • SADARLAH BAHWA TUGAS SEBAGAI AYAH TIDAK PERNAH SELESAI.
    Bahkan setelah anak-anak besar dan siap meninggalkan rumahpun, mereka akan tetap mencari hikmat serta nasihat dari Ayahnya. Entah soal meneruskan pendidikan, pekerjaan baru, atau pernikahan, para Ayah terus memainkan peran penting dalam kehidupan anak-anak mereka sementara mereka bertumbuh dan, mungkin, menikah dan membangun keluarga sendiri
Sumber : http://artikel.sabda.org/10_cara_menjadi_ayah_yang_hebat

205 Tahun Hans Christian Andersen

Penulis : Andar Ismail

TAHUN 2009 ini merupakan tahun persiapan menyambut perayaan "205 Tahun Hans Christian Andersen". Perayaan itu akan berpuncak pada tanggal 2 April 2009. Seluruh dunia akan merayakan "205 Years HCA". Siapakah Hans Christian Andersen? Apakah makna hidup dan karyanya? Hans Christian Andersen (selanjutnya: HCA) mengarang 156 buku cerita yang sudah diterjemahkan ke dalam ratusan bahasa. Bukunya disukai oleh tua dan muda di segala benua. Beberapa ceritanya sudah begitu meluas sampai orang tidak tahu lagi bahwa itu karangan HCA. Misalnya, cerita tentang raja yang keranjingan baju mewah sehingga tertipu membeli kain "begitu halus sampai tidak tampak" padahal sebenarnya ia telanjang bulat. Atau cerita tentang anak yang menyalakan korek api dagangannya sebatang demi sebatang untuk menahan dingin salju lalu batang terakhir menyala menjadi sinar dari sorga bersama neneknya yang menjemput dia.

Tahun ini penerbit di seluruh dunia sibuk mencetak ulang atau mencetak perdana buku-buku HCA. Selain itu, puluhan buku cerita akan digubah menjadi naskah sandiwara untuk dipentaskan oleh murid sekolah. Di Kopenhagen, Denmark, sebagai pusat perayaan "200 Tahun HCA" akan diluncurkan buku The Complete Works of HCA terdiri dari 18 jilid setebal 9.000 halaman langsung dalam berbagai bahasa.

Cerminan Realitas
Ciri pertama cerita HCA adalah unsur otobiografi. Di situ terselip secuil riwayatnya sendiri. HCA lahir dalam keluarga miskin pada tanggal 2 April 1805 di Odense, Denmark. Ayahnya tukang sepatu, ibunya tukang cuci.

Para pelaku cerita HCA tampil hidup karena mereka adalah simbolisasi orang- orang di masa kecil HCA. Di situ ada Si Baik dan Si Jahat. Hidup ini terdiri dari babak yang indah dan buruk yang silih berganti.

Contohnya terdapat dalam buku Siti Jempol. Siti Jempol lahir dalam kelopak bunga dan badannya hanya sebesar jempol orang. Angin dan arus air mudah menyeretnya. Dalam jalan hidupnya ada tokoh-tokoh yang menjahati dia, seperti Si Katak dan Si Kumbang. Namun banyak pula tokoh yang suka menolong seperti Si Kupu-Kupu dan Si Burung. Dalam buku Anak Bebek yang Jelek diceritakan penderitaan seekor anak bebek yang dicibirkan masyarakat, padahal kemudian ternyata ia sebenarnya seekor angsa yang anggun.

Terpuruk untuk Bangkit Kembali
Cerita-cerita HCA mengandung nilai edukatif. Pelaku cerita dihadang kendala dan krisis. Ia terpuruk. Kuncinya ada pada mental pelaku itu sendiri. Apakah ia cuma meratapi keterpurukannya? Apakah ia cuma berputar-putar di situ juga dan sibuk mencari kambing hitam? Apakah ia melarikan diri dari akar persoalan lalu mengurusi perkara sepele? Atau sebaliknya, ia punya sense of crisis, cepat bertindak mencari solusi dan bekerja keras memperbaiki situasi lalu bangkit kembali.

Banyak cerita HCA memandang penderitaan dan kejatuhan dari perspektif iman. Pelaku cerita bisa mencari dan menemukan hikmah di balik musibah. Allah bisa menjadikan suatu kegagalan sebagai sebuah pelajaran yang membuat kita lebih kreatif dan dinamis. Yusuf memakai perspektif itu ketika ia berkata, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud..." (Kejadian 50:20).

Tamat Bukan Kiamat
Pelaku cerita HCA juga menghadapi realitas bahwa tidak ada keberhasilan yang abadi. Kita bisa naik ke bukit namun tidak bisa seterusnya ada di puncak bukit. Cepat atau lambat, semua akan tamat. Kiprah HCA pun tamat. Ia menjadi tua renta, sakit kanker dan tidak punya cukup uang untuk berobat. Ia meninggal dalam usia 70 tahun.

Penderitaan masa tua HCA tergambar dalam buku Pohon Cemara. Di situ diceritakan tentang sebatang pohon cemara kecil yang ingin cepat menjadi besar. Benarlah ia cepat bertumbuh menjadi pohon yang bagus. Lalu ia ditebang dan dijadikan pohon Natal di sebuah rumah. Seusai Natal ia dibuang ke luar dan diinjak-injak orang. Daunnya layu. Ia menjadi sampah buangan. Sambil menitikkan air mata ia berdesah, "Masa jayaku di hutan telah berlalu. Masa indahku sebagai pohon Natal juga sudah berlalu. Riwayatku sudah tamat. Tetapi aku tidak menyesal. Pada malam Natal di rumah itu, aku mendengar cerita Natal. Itu cerita bagus ..."

Riwayat pohon cemara itu sudah tamat. Namun hidupnya tidak sia-sia. Ia telah memberi diri untuk dijadikan pohon Natal. Sebaliknya, ia telah menerima diri Sang Tokoh cerita Natal.

Riwayat HCA pun sudah tamat. Namun cerita-ceritanya terus bergema ke seluruh dunia selama 200 tahun ini. Hari kelahiran HCA, yakni 2 April, kini dirayakan sebagai Hari Buku Anak Internasional (International Children's Book Day).

Sumber: Suara Pembaruan Daily

Arti Sebuah Pengharapan

Penulis : Joshua MS

Semilir angin bertiup. Aku mencoba untuk tetap terlihat tenang. Koridor Rumah Sakit PGI Cikini murung dan kaku. Sekali aku kaget ketika seorang berteriak keras. Satu kali lagi aku merinding karena seorang menangis tersedu-sedu sambil memegang ponsel kuat-kuat. Kali ini aku benar-benar bergidik ngeri.

Ruangan yang penuh alat-alat menyeramkan bergantungan di dinding putih. Beberapa bunyi aneh mengikuti garis-garis di monitor terasa sangat menyiksa. Kalau bisa, aku ingin cepat-cepat meninggalkan ruangan aneh dan asing ini. Bergegas aku meninggalkan ruangan M2. Seorang Efendy Troy Sitorus, SH terbaring lemah di balik kaca ruangan cuci darah. Sudah hampir dua jam dia menjalani proses cuci darah di sana. Walau dia mencoba tersenyum, aku tahu dia menderita kesakitan yang tak tergambarkan. Perlahan aku mengalihkan perhatian. Aku tidak mau kegundahan hatiku tergambar jelas di matanya. Seorang perempuan 50 tahun, Ibu yang menjadi saksi hidup perjalanan panjang seorang notaris muda yang memiliki masa depan cerah. Saksi dari seorang Efendy Sitorus yang seharusnya duduk di kantor menangani banyak order dari klien, tetapi sekarang terkapar tak berdaya. Sebuah riwayat penyakit berantai membelenggunya. Seolah enggan pergi, penyakit itu begitu erat dan kuat mencengkeram. Penyakit itu seperti sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya.

"Dia anak ke-2 dari 6 bersaudara." Ibu Sitorus berupaya untuk memulai pembicaraan pastoral dengan aku. Ini menjadi sedikit berbeda karena tidak dilakukan di kantor gereja sebagaimana biasanya. Koridor rumah sakit yang lengang menjadi sebuah pilihan untuk duduk dan bercerita dengan seorang ibu yang tertatih dalam tuntutan memikul salib. Mengikut Kristus dalam perjalanan panjang padang gurun yang gersang. Pembicaraan pastoral yang menjadi sangat berbeda karena disampaikan oleh seorang ibu yang melahirkan anak laki-laki dengan segala cinta dan kasih sayang. Seorang ibu bagi anak laki-laki yang tergeletak tak berdaya dalam gerogotan penyakit yang silih berganti.

"Awalnya ibu tidak menyangka jadi serumit ini." Raut wajah perempuan itu terlihat lelah, bukan hanya karena semalaman dia tidak bisa tidur mengingat darah kental yang kehitam-hitaman dimuntahkan anak yang paling dikasihinya. Lebih dari itu, raut wajahnya perempuan itu menggambarkan penderitaan selama bertahun-tahun merawat anak laki-laki yang terkasih.

"Waktu itu, keluarga kita terpaksa harus pindah-pindah karena tugas bapak." Ibu Sitorus mengatur posisi duduknya yang sejak tadi kaku dan tegang.

"Bapak bekerja sebagai hakim dan sering berpindah-pindah. Tapi karena anak-anak sudah kuliah, Efendy akhirnya kuliah di UNILA Lampung. Setelah tamat ambil S2 di UI. Dalam waktu yang singkat, dia dapat panggilan kerja di sebuah instansi pemerintah. Tapi karena lebih suka usaha sendiri, Efendi lebih memilih mundur dan membuka kantor sendiri. Dia memulai kantor Notaris dan PPAT di Jawa Barat tepatnya Kota Padalarang." Ibu Sitorus berdiam sejenak.

"Ketika kantor di Padalarang siap operasional, tiba-tiba Efendy jatuh sakit. Ibu kira mungkin karena dia kecapaian jadi ibu minta pulang ke Jakarta sekalian medical chek up. Tapi sangat aneh, ketka dicek oleh dokter tensi darah Efendy sangat tinggi dan sangat berisiko. Kami semua kalang kabut. Dokter menganjurkan untuk tes laboratorium. Diagnosis sementara dokter, Efendy mengalami gangguan ginjal." Aku melihat mendung bergayut di raut muka Ibu Sitorus.

"Berita buruk itupun akhirnya datang, ginjal Efendy tinggal 9%. Ibu mulanya berpikir yang rusak 9% tetapi ternyata yang tertinggal justru hanya 9%. Ibu sungguh terpukul dengan angka-angka yang membingungkan itu. Menurut dokter, satu-satunya cara adalah transplantasi ginjal. Seluruh anggota keluarga berunding dan diputuskan untuk segera dibawa ke Mount Elizabeth Hospital di Singapore. Kami tidak mau ambil risiko. Setibanya di Singapura, dokter di sana geleng-geleng kepala, mereka berkata mengapa selalu setelah parah baru dibawa ke sini? Ibu tidak mau pusingkan itu, yang penting anakku sembuh." Ibu Sitorus mengusap wajahnya yang kuyu. Garis-garis wajahnya masih terlihat cantik. Perempuan Batak kelahiran Pematang Siantar ini memang masih tetap terlihat cantik di usianya yang menjelang senja.

"Singkat cerita, seluruh keluarga berunding, adik perempuannya yang sekarang tinggal di Lampung bersedia mendonorkan ginjalnya. Puji Tuhan, setelah melalui beberapa tes medis yang ketat, semua syarat-syarat medis untuk transplantasi memenuhi syarat. Hati Ibu benar-benar terguncang dan pilu ketika melihat kedua kakak beradik itu didorong ke ruang bedah. Ibu hanya berdoa dan menangis. Tuhan tolonglah kami, hanya itu yang dapat ibu katakan."

"Puji Tuhan, operasi berjalan dengan baik dan ketakutan yang sempat dipikirkan keluarga ternyata tidak terjadi. Adik perempuan Efendy ternyata tetap dapat melahirkan dan Efendy dapat hidup dengan normal dengan ginjal dari adiknya sendiri. Ibu berpikir Tuhan sudah membawa keluarga ini keluar dan melalui badai yang berat. Walau semua harta tersita dan terkuras untuk membayar semua biaya rumah sakit, akomodasi, dan transportasi ke Singapura, yang penting semua anak- anak sehat dan bahagia, itu doa Ibu." Aku melihat ada setitik garis sendu di wajah Ibu Sitorus. Garis senyum yang memancarkan aura keteguhan iman dan hatinya. Dia kemudian menarik nafas dalam-dalam untuk melanjutkan kesaksiannya.

"Selama hampir satu tahun, semua berjalan dengan baik. Ginjal Efendy berfungsi dengan baik. Tapi tahun kedua masalah baru datang. Efendy waktu itu sudah pindah kantor ke Jakarta, jadi ibu dapat mengontrol. Lagi-lagi Efendy harus dilarikan ke rumah sakit. Hasil diagnosis dokter, levernya mengalami gangguan serius. Ibu menyaksikan sendiri perlahan-lahan perut Efendy membesar. Seperti perempuan hamil delapan bulan. Ya! Seperti orang yang sedang hamil, sedangkan badannya kurus kering. Ibu kembali menjerit kepada Tuhan. Dokter menganjurkan agar cairan yang tidak terkendali akibat lever yang tidak berfungsi disedot secara rutin. Ya Tuhan, ujian apa lagi ini yang harus kami alami? Ibu benar-benar sangat bingung." Mendung kembali bergayut di raut wajahnya.

"Ibu berdoa, Tuhan aku minta lagi mujizat-MU. Jikalau cairan yang memenuhi perut anak saya harus di sedot, aku minta cukup satu kali saja. Ajaib sekali, Tuhan mendengarkan doa ibu. setelah di sedot satu kali, Efendy bisa pulang ke rumah dan tidak perlu di sedot lagi. Belakangan dokter yang melakukan operasi penyedotan itu bertemu Efendy setelah satu tahun berlalu. Tuhan bekerja dengan sangat ajaib. Bahkan dokterpun terhera-heran. Ibu sungguh sangat terheran-heran dan mengucap syukur atas mujzat ini." Segaris senyum di paras ibu Sitorus.

"Waktu bergulir, ternyata Tuhan masih terus menguji. Sejujurnya Ibu sudah tidak kuat. Bermula dari ketiadaan dana untuk pulang-pergi ke rumah sakit di Singapura, akhirnya perawatan dirujuk di salah satu rumah sakit di Jakarta. Entah karena apa, anak saya jatuh sakit lagi, kali ini benar-benar berat dan tidak terkira-kira."

"Dua hari yang lalu Ibu pergi mengunjungi adik ipar Efendy di Pondok Kopi, Jakarta Timur, adik iparnya yang berdarah Eropa itu jatuh sakit. Tapi karena takut rumah sakit Indonesia, dia tidak mau di bawa ke rumah sakit. Di rumah Ken, adik ipar Efendy, sangat tiba-tiba suhu badan Efendy naik. Dia juga merasa mual dan pusing. Ibu mencoba mengolesi dengan minyak angin. Bukan membaik, ternyata malah semakin tidak keruan," katanya.

"Puncaknya, Efendy muntah darah kental yang menghitam. Ibu panik, keluarga panik, kami semua panij dan menjerit-jerit. Segera kami larikan dia ke rumah sakit PGI Cikini." Ibu Sitorus mengatur desah nafasnya. Rasa galau, takut, dan sedih bercampur aduk tidak karuan.

"Apalagi Tuhan yang hendak Engkau lakukan? Ibu terus bertanya-tanya pada Tuhan. Tapi kali ini Tuhan memvonis sangat berat, analisis dokter sudah positif, Efendy terserang Hepatitis C. Dugaan sementara penularan penyakit akibat terapi dan penggunaan alat-alat medis rumah sakit yang tidak steril. Sepertinya dunia ini berwarna kelabu, hitam pekat dan mengerikan. Ibu benar-benar terpukul, anakku terserang penyakit yang mengerikan. Ibu pikir Tuhan sudah keterlaluan!" Ibu Sitorus terengah-engah. Nafasnya memburu, air matanya mulai jatuh, biji matanya berkaca-kaca menambah sendu dan suaranya pun mulai serak.

"Kemarin ususnya mengalami varises, jadi pembuluh darahnya ada yang pecah. Efendy harus menjalani rawat intensif. Cuci darah secara rutin. Ibu sudah pasrah, Ibu tidak punya apa-apa lagi. Uang sudah habis dan semua angota keluarga sudah letih. Yang Ibu tahu dan masih ingat Tuhan Yesus tidak memberikan ujian melebihi kemampuan kita. Ibu masih percaya bahwa Tuhan dapat melakukan apa yang mustahil bagi manusia. Ibu percaya mujizat."

Aku terhenyak mendengar kata-kata Ibu Sitorus kali ini. Dalam keadaan terempas dan tergeletak, Ibu yang berhati teguh ini berhasil mengkhotbahi aku. Pikiranku cepat-cepat berlari kepada sebuah ayat dalam Kitab Suci, "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab A265239h setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberkan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya." 1 Korintus 10:13. Matahari sudah tergelincir ke ufuk barat. Senja mulai membiaskan jingga di langit Jakarta. Perlahan-lahan malam akan turun menyelimuti bumi. Akupun telah sedari tadi pamit setelah menumpangkan tangan dan berdoa.

"Firman Tuhan berkata, Oleh bilur-bilurNya kamu telah sembuh, jadi berdoalah dengan Iman!" Aku mencoba untuk membangun kembali iman dan pengharapan ibu yang hampir terpuruk ini. Masih sempat aku bacakan beberapa ayat yang sudah menjadi kesukaanku sebagai seorang pelayan dan konselor Kristen kalau akan mendoakan orang sakit. Akupun masih menyaksikan wajah Effendy yang berseri-seri dan mengangguk-angguk. Dia sangat senang mendengar Yesaya 53 : 3-5 yang sengaja aku bacakan lembut di sampingnya. Sekarang akupun harus pulang dan melangkah pergi meninggalkan rumah sakit yang telah menguras segenap perasaanku. Meningalkan Ibu Sitorus yang dengan setia tidak mau beranjak dari sisi anak laki-laki kesayangannya. Langkahku berat menuruni tangga. Sebuah pikiran aneh tiba-tiba mengejarku. Tuhan apakah aku tidak sedang menipu diriku sendiri? Sejujurnya akupun tidak menyakini akan mampu berdiri tegar dengan ujian seberat Effendy. Aku bahkan hampir tidak bisa berpikir akan ada sebuah mujizat lagi yang akan menyelamatkan dia dari penyakit maut itu. Ah, peduli amat dengan apa yang aku pikirkan. Yang aku tahu, aku punya iman yang membuatku harus menawan segala pikiran dan menaklukkannya. Aku harus mengenakan pikiran Kristus. Bukankah dengan mendengarkan firman Tuhan akan mengalirkan iman dalam jiwa? Aku kemudian berjalan melintas pelataran parkir. Jiwaku mulai menghafalkan ayat favoritku, "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil (Lukas 1 :37)".Amin.

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/

Bayang-Bayangnya Berbentuk Salib


(Kisah Selamatnya Seorang Atlit Olimpiade)

Pada tahun 1967 ketika mengikuti pelajaran di kelas fotografi Universitas Cincinnati, aku berkenalan dengan seorang pemuda bernama Charles Murray, siswa pada sekolah yang sama, yang sedang dilatih untuk persiapan Olimpiade musim panas tahun 1968 sebagai seorang pelompat indah papan kolam renang. Charles sangat sabar terhadapku ketika aku berbicara selama berjam-jam dengannya tentang Yesus Kristus dan bagaimana Ia telah menyelamatkanku.

Charles tidak dibesarkan di dalam keluarga yang berbakti di gereja manapun, jadi semua yang kuceritakan kepadanya mempesonakannya. Ia bahkan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang pengampunan dosa. Akhirnya tibalah harinya di mana aku mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya. Aku bertanya apakah ia menyadari kebutuhan dirinya akan seorang penebus dan apakah ia siap untuk mempercayai Kristus sebagai Juru Selamat pribadinya. Aku melihat wajahnya berubah dan perasaan bersalah tergambar di situ. Namun jawabannya tegas sekali "Tidak".

Di hari-hari berikutnya, ia tampak diam dan sering kali aku merasa bahwa ia menjauhiku, sampai aku menerima telepon, yang datangnya dari Charles. Ia ingin mengetahui di mana ia dapat menemukan beberapa ayat di dalam Perjanjian Baru yang telah kuberikan kepadanya mengenai keselamatan.

Aku memberikan kepadanya referensi menuju beberapa pasal dan bertanya apakah aku dapat menemuinya. Ia menolak tawaranku dan mengucapkan terima kasih untuk ayat-ayat yang kuberikan. Aku dapat menebak bahwa ia amat gelisah, namun aku tak tahu di mana ia berada atau bagaimana cara untuk menolongnya. Oleh karena ia sedang berlatih untuk pertandingan Olimpiade, maka Charles memperoleh fasilitas khusus di kolam renang Universitas kami.

Di antara pukul 22.30 dan 23.00 malam itu, ia memutuskan untuk berenang dan melakukan sedikit latihan lompat papan. Malam di bulan Oktober itu sangat cerah dan bulan tampak penuh dan cemerlang. Kolam renang Universitas kami berada di bawah langit-langit kaca sehingga bulan dapat bersinar terang melalui puncak dinding di areal kolam.

Charles mendaki papan lompat yang paling atas untuk melakukan lompatannya yang pertama. Pada saat itu, Roh Allah mulai menempelaknya akan dosa-dosanya. Semua ayat-ayat yang telah dibacanya, semua saat-saat bersaksi kepadanya tentang Kristus, mulai memenuhi benaknya. Ia berdiri di atas papan dengan membelakangi kolam untuk melakukan lompatannya, merentangkan kedua tangannya untuk keseimbangan, memandang ke atas dinding dan melihat bayang-bayangnya sendiri yang disebabkan oleh cahaya bulan. Bayang-bayangnya berbentuk sebuah salib. Ia tak dapat menahan beban dosanya lebih lama lagi. Hatinya hancur dan ia duduk di atas papan lompat itu dan meminta Allah untuk mengampuninya dan menyelamatkannya. Ia percaya kepada Yesus Kristus di ketinggian lebih dari pada dua puluh kaki dari tanah.

Tiba-tiba, lampu-lampu di areal kolam menyala. Petugasnya masuk untuk mengadakan pemeriksaan kolam. Ketika Charles menengok ke bawah dari atas papannya, maka yang dilihatnya adalah kolam yang kosong yang telah dikeringkan untuk beberapa perbaikan. Hampir saja ia menerjunkan dirinya menuju kematian, namun salib telah menghentikannya dari bencana tersebut.

I Korintus 1:18 "Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah."

Sumber: Highways Of Hope

Ceritakan Pada Dunia Untukku

Penulis : John Powell, S.J.

Sekitar 14 tahun yang lalu, aku berdiri menyaksikan para mahasiswaku berbaris memasuki kelas untuk mengikuti kuliah pertama tentang teologi iman. Pada hari itulah untuk pertama kalinya aku melihat Tommy. Dia sedang menyisir rambutnya yang terurai sampai sekitar 20 cm dibawah bahunya. Penilaian singkatku: dia seorang yang aneh ? sangat aneh.

Tommy ternyata menjadi tantanganku yang terberat. Dia terus-menerus mengajukan keberatan. Dia juga melecehkan tentang kemungkinan Tuhan mencintai secara tanpa pamrih.

Ketika dia muncul untuk mengikuti ujian di akhir kuliah, dia bertanya dengan agak sinis, "Menurut Pastor apakah saya akan pernah menemukan Tuhan?" Tidak," jawabku dengan sungguh-sungguh.

"Oh," sahutnya.

"Rasanya Anda memang tidak pernah mengajarkan bagaimana menemukan Tuhan." Kubiarkan dia berjalan sampai lima langkah lagi dari pintu, lalu kupanggil. "Saya rasa kamu tak akan pernah menemukan-Nya. Tapi, saya yakin Dialah yang akan menemukanmu."

Tommy mengangkat bahu, lalu pergi.

Aku merasa agak kecewa karena dia tidak bisa menangkap maksud kata-kataku. Kemudian kudengar Tommy sudah lulus, dan saya bersyukur.

Namun kemudian tiba berita yang menyedihkan: Tommy mengidap kanker yang sudah parah. Sebelum saya sempat mengunjunginya, dia yang lebih dulu menemui saya. Saat dia melangkah masuk ke kantor saya, tubuhnya sudah menyusut, dan rambutnya yang panjang sudah rontok karena pengobatan dengan kemoterapi.

Namun, matanya tetap bercahaya dan suaranya, untuk pertama kalinya, terdengar tegas. "Tommy ! Saya sering memikirkanmu. Katanya kamu sakit keras?" tanyaku langsung. "Oh ya, saya memang sakit keras. Saya menderita kanker. Waktu saya hanya tinggal beberapa minggu lagi."

"Kamu mau membicarakan itu?"

"Boleh saja. Apa yang ingin Pastor ketahui?"

"Bagaimana rasanya baru berumur 24 tahun, tapi kematian sudah menjelang?" Jawabnya, "Ini lebih baik ketimbang jadi lelaki berumur 50 tahun namun mengira bahwa minum minuman keras, bermain perempuan, dan memburu harta adalah hal-hal yang 'utama' dalam hidup ini."

Lalu dia mengatakan mengapa dia menemuiku. "Sesuatu yang Pastor pernah katakan pada saya pada hari terakhir kuliah Pastor. Saya bertanya waktu itu apakah saya akan pernah menemukan Tuhan, dan Pastor mengatakan tidak. Jawaban yang sungguh mengejutkan saya. Lalu, Pastor mengatakan bahwa Tuhanlah yang akan menemukan saya. Saya sering memikirkan kata-kata Pastor itu, meskipun pencarian Tuhan yang saya lakukan pada masa itu tidaklah sungguh-sungguh. "Tetapi, ketika dokter mengeluarkan segumpal daging dari pangkal paha saya", Tommy melanjutkan "dan mengatakan bahwa gumpalan itu ganas, saya pun mulai serius melacak Tuhan. Dan ketika tumor ganas itu menyebar sampai ke organ-organ vital,saya benar-benar menggedor-gedor pintu surga.

Tapi tak terjadi apa pun.."

Lalu, saya terbangun di suatu hari, dan saya tidak lagi berusaha keras mencari-cari pesan itu. Saya menghentikan segala usaha itu. Saya memutuskan untuk tidak peduli sama sekali pada Tuhan, kehidupan setelah kematian, atau hal-hal sejenis itu."

"Saya memutuskan untuk melewatkan waktu yang tersisa melakukan hal-hal penting," lanjut Tommy. "Saya teringat tentang Pastor dan kata-kata Pastor yang lain: Kesedihan yang paling utama adalah menjalani hidup tanpa mencintai. Tapi hampir sama sedihnya, meninggalkan dunia ini tanpa mengatakan pada orang yang saya cintai bahwa kau mencintai mereka.

Jadi saya memulai dengan orang yang tersulit: ayah saya. "Ayah Tommy waktu itu sedang membaca koran saat anaknya menghampirinya." "Pa, aku ingin bicara." "Bicara saja." "Pa, ini penting sekali." Korannya turun perlahan 8 cm. "Ada apa?" "Pa, aku cinta Papa. Aku hanya ingin Papa tahu itu." Tommy tersenyum padaku saat mengenang saat itu. "Korannya jatuh ke lantai. Lalu ayah saya melakukan dua hal yang seingatku belum pernah dilakukannya. Ia menangis dan memelukku. Dan kami mengobrol semalaman, meskipun dia harus bekerja besok paginya."

"Dengan ibu saya dan adik saya lebih mudah," sambung Tommy. "Mereka menangis bersama saya, dan kami berpelukan, dan berbagi hal yang kami rahasiakan bertahun-tahun. Saya hanya menyesalkan mengapa saya harus menunggu sekian lama. Saya berada dalam bayang-bayang kematian, dan saya baru memulai terbuka pada semua orang yang sebenarnya dekat dengan saya.

"Lalu suatu hari saya berbalik dan Tuhan ada di situ. Ia tidak datang saat saya memohon pada-Nya. Rupanya Dia bertindak menurut kehendak-Nya dan pada waktu-Nya. Yang penting adalah Pastor benar. Dia menemukan saya bahkan setelah saya berhenti mencari-Nya."

"Tommy," aku tersedak,

"Menurut saya, kata-katamu lebih universal daripada yang kamu sadari. Kamu menunjukkan bahwa cara terpasti untuk menemukan Tuhan adalah bukan dengan membuatnya menjadi milik pribadi atau penghiburan instan saat membutuhkan, melainkan dengan membuka diri pada cinta kasih."

"Tommy," saya menambahkan, "boleh saya minta tolong? Maukah kamu datang ke kuliah teologi iman dan mengatakan kepada para mahasiswa saya apa yang baru kamu ceritakan?"

Meskipun kami menjadwalkannya, ia tak berhasil hadir hari itu. Tentu saja, karena ia harus berpulang. Ia melangkah jauh dari iman ke visi. Ia menemukan kehidupan yang jauh lebih indah daripada yang pernah dilihat mata kemanusiaan atau yang pernah dibayangkan.

Sebelum ia meninggal, kami mengobrol terakhir kali. Saya tak akan mampu hadir di kuliah Pastor," katanya. "Saya tahu, Tommy." "Maukah Pastor menceritakannya untuk saya? Maukah Pastor menceritakannya pada dunia untuk saya?" "Ya, Tommy. Saya akan melakukannya."

SUMBER Http://artikel.sabda.org/ceritakan_pada_dunia_untukku

Hadiah Terindah untuk Seorang Terpenjara

Penulis : Lesminingtyas

Pelayanan saya di Kalimantan Barat yang cukup lama membuat saya merasa dekat dengan orang-orang China di sana. Saya merasa mereka adalah keluarga saya yang kedua. Kecintaan saya terhadap masyarakat Kalimantan Barat dan sekitarnya juga tercermin dari beberapa tulisan saya. Walaupun sekarang saya tidak lagi melayani masyarakat Kalimantan Barat, rasanya sebagian hati saya masih tertinggal di sana. Untungnya rasa kangen saya sedikit terobati dengan kiriman foto dan cerita-cerita dari Ati (adik laki-laki).

Ati adalah seorang pemuda China yang merupakan adik angkat saya di Kalimantan Barat. Ati lahir dan dibesarkan dalam keluarga Konghucu yang hancur berantakan, karena jerat-jerat dosa seksual, perjudian dan minum-minuman beralkohol. Masa lalu Ati yang hitam pekat hampir membuat saya tercengang sekaligus kagum dengan pertobatan dan pemulihan yang telah dialaminya. Sejak menerima Tuhan Yesus, Ati justru mengambil bagian untuk melayani Tuhan.

Setelah sekian lama persaudaraan kami, Ati menceritakan betapa hancurnya jiwa mama gara-gara penghianatan suaminya. Ati dan adik kandungnya; Willy juga pernah terjerumus ke dalam kubangan dosa yang sama dengan papanya. Kejujuran Ati tidak membuat saya menjauhinya, tetapi saya justru merasa perlu menguatkannya. Saya sangat mengerti mengapa Ati dan Willy sampai jatuh dan bergelimang dosa. Saya melihat ada kemarahan dan kekecewaan mereka di bawah alam sadar terhadap papanya. Di sisi lain, papa memang menghadirkan sosok yang tidak layak diteladani.

Saya sangat gembira karena Ati telah mengalami pertobatan dan pemulihan. Bahkan ketika Ati merencanakan untuk studi lanjut di bidang teologi, saya pun memberi dukungan sebisa saya. Pergumulan pribadi dan paper Ati yang perlu saya edit, selalu saya tempatkan pada prioritas pertama. Ini semua saya lakukan sebagai apresiasi dan dukungan saya terhadap kehidupan Ati yang baru.

Menjelang akhir tahun 2004, Ati menelpon dari Kalimantan Barat dan menceritakan bahwa Willy sudah hampir 2 bulan mendekam di tanahan polres karena terlibat kasus penipuan. Kalau saya gembira melihat kehidupan baru Ati, saya punya beban tersendiri dengan kehidupan Willy yang masih bergelimang dosa. Walaupun saat itu kesibukan kerja saya sangat tinggi, tetapi saya yakin Tuhan tidak menginginkan saya mengabaikan Willy. Karena beban dan tanggung jawab Ati di Kalimantan Barat sangat besar, maka saya mencoba menenangkannya dan berjanji untuk ikut memikirkan Willy.

Karena saya tidak bisa mempengaruhi proses hukum yang akan dihadapi, maka saya hanya bisa meminta kakak kandung saya untuk menjadi pengacara Willy, dengan biaya sepenuhnya dari Ati. Dengan demikian saya bisa meyakinkan bahwa keadaan Willy baik-baik saja, sehingga Ati bisa tetap berkonsentrasi mencari uang dan melayani Tuhan di Kalimantan Barat.

Setelah 2 bulan mendekam di Polsek, Willy dipindahkan ke rutan Salemba. Di rutan, Willy ditempatkan di sebuah barak bersama ratusan tahanan yang lainnya. Sebenarnya Willy membutuhkan uang Rp. 2 juta untuk bisa masuk kamar sel di rutan supaya ia tidak harus tidur berdesak-desakan layaknya ikan asin di emper-emper atau di lorong bangsal, bersama penjahat kelas teri yang tidak berduit. Sebenarnya kakak saya juga menyarankan hal yang sama, tetapi saya dan Ati berpikir lain. Kami berdua berpikir, biarlah Willy mendapatkan pelajaran yang berharga dari penderitaannya selama di penjara. Kami berdua berharap siksaan tersebut memiliki efek jera terhadap Willy.

Walaupun ada oknum penegak hukum yang menawarkan kekebasan dengan sejumlah uang, namun saya dan Ati tidak mau melibatkan diri dengan hal-hal yang berbau ketidakadalian dan KKN. Kami berdua justru berharap dengan terkurung di penjara, Willy bisa duduk diam, mendengar dan menerima Firman Tuhan. Setidaknya kami berharap bisa mengetuk pintu hati Willy sehingga ada tersedia tempat bagi Tuhan di hatinya.

Sejak Willy mendekam di rutan Salemba saya rindu untuk melawat, sekedar meminjamkan telinga, hati dan mulut saya, sama seperti saya memperlakukan Ati. Tapi sayang, kakak saya keberatan kalau saya harus datang ke tempat para pendosa itu dikurung. Banyak hal mengerikan yang diceritakan oleh kakak saya, membuat hati saya ciut sehingga tidak ada nyali sedikitpun untuk datang sendirian ke rutan salemba. Terlebih lagi dengan kenyataan bahwa di dalam rutan praktek UUD (Ujung-Ujungnya Duit) masih tetap kental. Bukan hanya para napi dan tahanan yang "diporoti", keluarga atau tama yang membesuk juga "dipalak". Kakak saya yang datang atas nama hukum saja selalu kena "palak" di setiap pintu pemeriksaan.

Waktu Willy merasa putus asa karena hampir seluruh kulitnya borokan dan kejelasan waktu sidang juga belum ada, Willy mengirim SMS yang mengatakan dirinya ingin bunuh diri saja. Willy menantang Ati untuk memutuskan hubungan persaudaraan karena Ati menolak permintaannya untuk membayar kamar dan "salam tempel" untuk oknum yang menjanjikan keringanan perkara. Sekali lagi, saya dan Ati tidak mau menggunakan perasaan. Kami berdua berkeras dan menyerahkan perkara Willy ke dalam jalur hukum yang normal, walaupun beresiko pada vonis hukuman yang cukup berat untuk Willy.

Beberapa saat saya dan Ati tidak mau terlalu berat memikirkan Willy. Kami percaya Tuhan punya rencana tersendiri untuk Willy. Bahkan secara ekstrim saya dan Ati berprinsip bahwa kami bukanlah juru selamat yang bia menolong Willy dan biarlah Willy mencari dan mengandalkan Juru Selamat yang Sejati.

Kamis 10 Maret 2005, menjelang libur hari Raya Nyepi, tiba-tiba HP saya berdering. Ketika saya lihat nama Ati terpampang di layar ponsel, saya bergegas mengangkatnya. Saya tahu persis, kalau Ati menelpon berarti sedang ada masalah yang serius. Ketika Ati menanyakan kesediaan saya untuk membantu membelikan soft lens untuk Willy, saya masih mencoba menawar untuk mengirimkan softlens tersebut lewat kakak saya pada hari Senin. Namun karena Ati mengatakan bahwa softlens Willy sudah kedalu warsa, maka tanpa berpikir lagi saya pun langsung mengiyakan. "Inilah kesempatan saya berkunjung ke rutan Salemba, mumpung tidak ada kakak yang melarang" begitu pikir saya. Memang Ati hanya mempercayakan keuangan untuk Willy melalui saya, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan uang, Ati selalu mentransfer ke rekening saya.

Begitu telepon ditutup saya mulai kebingunan. Di satu sisi saya ingin melawat Willy, di sisi lain saya takut dengan birokrasi untuk masuk ke rutan. Terlebih pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan akibat narapidana salah mengartikan perhatian dan kasih sayang kami. Ketika masih kuliah dulu saya melayani beberapa narapidana di LP Salatiga, Jawa Tengah. Begitu narapida memasuki masa asimilasi dan diberi kesempan bersosialisasi dengan dunia luar, beberapa dari mereka ada mencari ke kampus karena merasa pernah diperlakukan secara special.

Walaupun saya yakin Willy tidak akan menyusahkan saya, tapi saya terus ingat Ati yang selalu wanti-wanti karena sorot mata Willy yang alim, memelas tapi penuh tipuan. Saya mulai bingung dan panik karena membayangkan betapa ngerinya saya masuk sendirian ke dunia yang sangat asing. Saya mencoba menghubungi De De, Di Di dan adik-adik rohani sekaligus teman diskusi saya dari Gereja Kristus Ketapang. Sayang sekali, mereka sudah punya acara sendiri-sendiri.

Sementara itu tanggal 11 Maret jam 11.00 saya sudah membuat janji untuk datang dalam acara jumpa darat member milis Krisen-Katolik teramah yang saya ikuti. Rasanya sangat tidak bijaksana kalau saya ingkar janji atau tidak datang. Terlebih ada seorang rekan milis yang meminta saya untuk membawa asinan Bogor. Otak ini rasanya mau pecah, karena banyak sekali hal yang belum tertangani sore itu.

Sambil menunggu bis jemputan, saya mencoret-coret daftar kegiatan yang harus saya selesaikan, diantaranya : mengambil uang di ATM, membeli soft lens, mencari teman untuk ke rutan, mencari informasi dari kakak mengenai tata cara membesuk Willy, membeli asinan Bogor, datang ke jumpa darat di Mall Artha Gading jam 11.00, dan membesuk Willy jam 13.00.

Dengan banyaknya hal yang harus diselesaikan, saya memutuskan untuk mulai melakukan sebagaian mulai sore itu, paling tidak untuk mengambil uang di ATM dan membeli soft lens. Saya pun sengaja tidak pulang dulu ke rumah, tetapi langsung ke Plaza Jambu Dua, Bogor. Setelah ada cukup uang tunai di tangan, saya mencoba mencari soft lens yang dipesan Willy. Sayang sekali, dari 2 optik yang saya datangi, semuanya tidak menyediakan soft lens untuk ukuran minus 11. Petugas optik tersebut menyarankan saya mencoba mencari soft lens tersebut ke beberapa optik di Plaza Ekaloka, di Sukasari.

Semula saya agak ragu, karena hari sudah gelap sedangkan kacamata saya sendiri tertinggal di bis jemputan. Namun demi Willy, saya nekat juga untuk pergi. Perjalan saya memang agak terhambat karena dalam situasi gelap dan tanpa kacamata, saya tidak berani menyeberang. Mau tidak mau, saya sedikit membuang waktu untuk naik angkot 09 yang ngetem di dekat Plasa Jambu Dua sambil menunggu angkot itu penuh.

Dari tujuh optik yang ada di Ekaloka, ternyata tidak satu pun yang memiliki persed248222n soft lens untuk ukuran yang dimaksud. Saya mencoba menghubungi Ati dan istri Willy, tetapi HP mereka tidak satu pun yang aktif. Semula saya sudah GR (gede rasa) dan menyangka kalau memang Tuhan tidak mengijinkan saya pergi sendirian ke rutan Salemba.

Kira-kira jam 20.30 saya keluar dari Plaza dengan hati yang sangat cemas. Kebetulan penerangan di depan Plaza yang masih relatif baru itu sangat kurang. Di sisi lain, banyak kendaraan yang melintas di depan Plaza dengan kecepatan tinggi. Saya berpikir sejenak supaya bisa menyeberang jalan dengan aman. Sejenak kemudian saya memutuskan untuk naik angkot ke depan Terminal Tas Tajur karena penerangan di sana cukup bagus dan jalanan cukup datar sehingga saya berharap dapat menyeberang dengan mudah.

Sejenak pikiran saya blank dan tahu-tahu saya sampai tempat yang gelap dan sepi. Itulah salah satu kelemahan saya yang mudah sekali mengalami disorientasi ruang di dalam suasana gelap. Karena sudah terlalu jauh, saya pun turun. Dengan setengah berlari, saya menyeberang di tempat yang benar-benar sepi itu. Begitu sampai seberang, saya baru tahu bahwa saya sedang berada di depan tempat bilyard yang remang-remang. Lama saya menunggu angkot yang lewat, hati saya pun mulai menguluh "Tuhan, saya ingin melayani, tapi jangan terlalu sulit seperti ini!"

Begitu ada angkot lewat, saya pun segera naik. Di dalam angkot itu saya masih menggugat Tuhan "Tuhan, dari dulu saya sudah melayani orang-orang miskin yang kelaparan dan hidup menggelandang, masihkan saya harus melawat orang yang di penjara?". Suara hati saya mulai menegur "Kamu pikir, Amanat Agung dalam Matius 25:31-46 sudah kau lakukan dengan sempurna? Kamu jangan terlalu cepat puas, masih banyak yang belum kamu lakukan untukKu. Sekarang saja, untuk melawatKu di penjara, kamu setengah hati"

Begitu sampai rumah saya masih berusaha menelpon Willy, dengan harapan ia sabar menunggu softlens hingga hari Senin. Namun Willy mengeluh, karena matanya sudah memerah dan kulitnya borokan, sehingga ia berharap saya mencarikan soft lens dan caladin cair di Pasar Baru, dan sebelum jam 13.00 saya harus sudah berada di rutan Salemba. Saya kembali bingung. Untung saja, kakak saya segera mengirim SMS mengenai petunjuk besuk narapidana.

Sebelum berangkat tidur, seorang teman sesama warga Bogor yang hendak ikut acara jumpa darat, mengirim SMS menanyakan baju yang akan saya pakai besok. Terus terang saya masih bingung, mencari baju yang layak untuk bertemu dengan orang-orang terhormat di sebuah mall, tetapi juga cocok untuk berkunjung ke penjara. Dengan dua acara yang sangat berbeda itu saya ingin penampilan saya tidak terlalu mencolok ketika di penjara, tetapi juga tidak terlalu njomplang dengan teman-teman dari kalangan yang terpelajar.

Singkat cerita, acara jumpa darat dengan teman-teman sungguh sangat menyenangkan. Rasanya ingin sekali saya melanjutkan curhat dengan beberapa member yang sudah terbiasa curhat di milis. Suasana yang hangat dan penuh persaudaraan itu membuat saya engan untuk meninggalkan acara tersebut. Ada perasaan sedih dan kecewa ketika alarm reminder ponsel saya berdering, tanda saya harus segera pergi ke Pasar Baru. Berat rasanya saya meninggalkan "pesta kecil" dengan makanan lezat dan istimewa yang dibawa oleh rekan-rekan yang jago masak. Ego saya pun sedikit berontak seraya berkata "Willy, kenapa sih kamu bikin kejahatan dan pakai ngrepotin saya segala? Nglawat sih ngalawat, tapi saya kan juga berhak untuk bersuka cita. Masak sih kamu tega merampas kesempatan emas saya bersama teman-teman curhat yang seiman?". Untung saja, pemberontakan itu segera saya tepis sendiri dengan mengingat perkataan Tuhan Yesus "Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk Aku"

Sebenarnya saya malu untuk berterus terang dengan teman-teman milis yang sangat terpelajar itu, bahwa saya punya saudara angkat, seorang pendosa yang harus mendekam di penjara. Namun, untuk berbohong saya juga tidak bisa. Lagi pula rasanya tidak ada alasan lain yang lebih tepat dan bijaksana untuk meninggalkan persekutuan itu selain alasan yang sebenarnya. Puji Tuhan, dengan keterusterangan saya beberapa rekan senior justru sangat mengerti. Ibu Ine yang jago masak dan Cik Aina, teman curhat saya yang paling seru membekali saya dengan beberapa bungkus makanan untuk Willy. Walaupun tas plastik hitam berisi makanan sungguh tidak serasi dan merusak penampilan saya, namun demi Willy saya rela melakukannya.

Begitu selesai berpamitan, secepat kilat saya meninggalkan tempat bergensi itu, menuju ke Pasar Baru. Suasana pasar yang tidak teratur dan agak kumuh, membuat saya kurang nyaman. Hati kecil saya pun mulai mengeluh "Tuhan, kenapa sih susah amat melakukan kehendakMu. Di dalam Injil, Engkau hanya memintaku untuk melawat orang di penjara, tapi kenapa Engkau tuntut juga aku untuk keluar masuk tempat yang tidak elit ini?" Suasana yang tidak nyaman tersebut mendorong saya untuk segera meninggalkannya dan dengan dengan langkah seribu, saya menuju ke tempat di mana Willy mendekam.

Walaupun di setiap pintu penjagaan/pemeriksaan, jelas-jelas tertulis "Kunjungan Tidak Dipungut Biaya" tetapi dalam prakteknya tetap saja UUD. Untuk sampai ke dalam dan bertemu dengan kaum terpenjara, saya harus melewati 4 (empat) pintu, masing-masing dengan salam tempel sebesar Rp. 10,000. "Willy, kasus umum, pasal 378" dengan sok PD saya mengucapkan "pasword" yang dipesan kakak, saat masuk pintu pemeriksaan.

Entah pada pintu yang keberapa, saya diminta masuk ke ruang tertutup untuk diperiksa. Semua isi tas harus dikeluarkan. Beberapa saat kemudian, saya diminta mengangkat kedua tangan dan seorang petugas perempuan meraba seluruh permukaan tubuh saya. Kantong-kantong saku saya tak terlewatkan juga dari pemeriksaan petugas. Begitu petugas tahu bahwa saya membawa HP, saya diminta untuk menitipkannya dengan biaya Rp. 10,000 juga. "Duit lagi, duit lagi" kata saya dalam hati setengah geregetan.

Ketika saya sudah lolos pemeriksaan di bagian perempuan, saya pun masuk ke pintu kerangkeng yang berikutnya. Namun sebelum badan saya masuk kerangkeng seluruhnya, tiba-tiba seorang penjaga laki-laki menangkap tangan saya "Eits, dicap dulu!" katanya. Tanpa permisi dan tanpa menanyakan saya suka atau tidak suka, petugas itu membubuhkan stempel di atas pergelangan tangan saya. Walaupun hati saya berontak diperlakukan seperti binatang, saya tak mampu menolaknya. Terlebih kejadiannya sangat cepat dan tidak meminta persetujuan saya sebelumnya.

Begitu sampai di dalam kerangkeng, beberapa pembesuk laki-laki mentertawakan saya sambil berkata "He,he,he.mbak disangka laki-laki, ya?!" Saya pun baru sadar, ternyata dari sekian banyak pembesuk perempuan, hanya saya yang distempel. Saya cuma mesam-mesem, setengah malu bercanpur geli "Akhirnya si tomboy ini kena batunya juga" saya meledek diri sendiri.

Ketika sampai di dalam, saya agak kesulitan mencari Willy karena memang sebelumnya belum pernah bertemu. Namun melihat saya clingak-clinguk, Willy pun menghampiri saya sambil menyodorkan tangan "Ini Mbak Ning, temannya Koko ya?" Saya pun tersenyum. Agak lama kami berputar-putar memilih tempat. Beberapa pembesuk yang punya cukup uang memang membayar petugas supaya bisa duduk dan ngobrol di sofa di ruangan kantor rutan. Namun sayang waktu itu ruangan sudah dipenuhi oleh beberapa tahanan dan keluarganya yang tentunya sudah lebih dulu membayar "O...ternyata bukan cuma hotel yang fullbook" kata saya dalam hati.

Semula Willy mengajak saya berdiri di emper kantor rutan yang cukup terlindung dari sengatan matahari. Namun tak lama, kami diusir oleh petugas karena tempat itu juga sudah "dipajak" oleh tahanan lain. Saya dan Willy pun pindah ke tempat lain. Setelah menengok kesana kemari, tidak ada pilihan lain keculai jongkok berhimpit-himpitan dengan nara pidana lain. Saya berusaha mengambil jarak kira-kira 20 cm supaya tidak bersinggungan dengan Willy, tapi pundak dan badan saya justru menempel dengan tahanan lain. Suasana barak di rutan siang itu mirip dengan terminal Pulo Gadung sehari menjelang lebaran.

Begitu saya siap meminjamkan telinga, Willy memuntahkan segala kekesalan dan kemarahannya terhadap sikap Kokonya; Ati. Saya menjadi merasa bersalah dan bertanggung jawab untuk meluruskan, karena selama ini saya pun banyak mempengaruhi sikap Ati. Ketika Willy menuduh Ati tidak mempedulikannya, dengan jujur saya katakan "Sekarang ini saya ada di sini karena Tuhan dan Ati yang meminta. Sebelumnya kita bukan siapa-siapa dan saya besedia datang ke sini karena Tuhan dan Ati sangat mengasihi Willy".

Tidak mudah untuk meluluhkan hati Willy. Pandangan mata Willy yang memelas dan sok alim yang diceritakan Ati sama sekali tidak terbukti. Yang ada hanyalah pandangan kebencian yang liar. Rasanya dulu selama tinggal di Kalimantan Barat, saya belum pernah menemukan China se-preman Willy. Walaupun kulitnya masih tetap putih dan matanya masih tetap sipit, tetapi wajah Willy sangat jauh dari kesan kalem. Kulit tangannya yang dihiasi borok memang membuat saya jatuh kasihan sekaligus jijik. Tapi mau bag268249223 lagi, untuk sedikit menjauh darinya, sudah tidak ada tempat lagi.

Walaupun saya sudah mengenakan baju yang sederhana mungkin, tapi sejujurnya penampilan saya siang itu paling mencolok. Asli, waktu itu semua orang pasti akan setuju kalau saya paling cantik di antara pembesuk lainnya. Mungkin itulah sebabnya kakak melarang saya duduk bersama dengan para pelaku kejahatan dan keluarganya yang tidak jauh berbeda sangarnya.

Walaupun banyak pembesuk perempuan yang berdandan menor, tapi jelas terlihat bahwa dadanan dan penampilan mereka sangat jauh dari kesan terpelajar. Lipstik tebal, eye shadow mencolok dan blus on kemereh-merahan tidak sanggup menyembunyikan raut muka yang putus asa.

Walaupun pakaian saya cukup sederhana, tetapi kulit tangan saya yang lebih mengkilat karena usapan hand body lotion, dan bau wangi parfum yang menyegarkan serta sepatu boot yang tersemir mengkilat, membuat saya menjadi pusat perhatian para tahanan dan keluarganya. Willy pun berbisik ke telinga saya "Mbak, gara-gara saya ditengok orang keren seperti Mbak, nanti saya malah repot. Petugas pikir, saya ini orang berada dan mereka akan meminta bagian dari saya. Untuk sekali keluar seperti ini saja, saya harus membayar uang pintu Rp. 20,000. Di sini apa-apa harus membayar. Kita juga diijinkan menggunakan HP, tapi juga harus membayar pajak" "Untuk makan bagaimana?" tanya saya. "Sama saja Mbak. Kalau mau mendapatkan makanan yang bersih dan sehat, saya harus membeli sendiri. Saya sudah tidak tahan lagi di sini. Kalau tidak ada uang, saya tidak bisa makan yang layak. Mbak, boleh nggak nanti saya minta uang, biar nanti Koko yang mengganti" pinta Willy "Ini ada uang Rp. 100,000 punya Koko" kata saya. "Sst..hati-hati Mbak ngasihnya. Kalau ada orang yang tahu, nanti saya dipalak" Willy mengingatkan.

Karena wajah Willy masih agak tegang dan sedikit sangar, saya mencoba menawarkan makanan yang saya bawa dari tempat acara jumpa darat. Tanpa rasa canggung sedikitpun, Willy langsung membuka bungkusan yang saya berikan. Hati saya sangat miris ketika melihat Willy melalap habis makanan yang saya bawakan. Willy benar-benar rakus, seperti orang yang sudah seminggu tidak makan. Walaupun saya berusaha membuang padangan, namun sudut mata saya masih saja menangkap pemandangan memilukan yang berjarak kurang lebih 20 cm dari mata saya.

Hati saya semakin teriris, ketika Willy menceritakan malam-malam panjang selama di rutan. Gara-gara tidak bisa membayar uang kamar Rp. 2 juta, Willy terpaksa tidur di emper-emper atau lorong bangsal. Untuk mencegah supaya air mata saya tidak menetes, saya berusaha mengajak Willy berngajaknya ngobrol santai. "Willy, kamu masuk ke sini karena petualangan atau kecelakaan sih? Apa sih enaknya main-main dengan perbuatan tidak baik kalau cuma akhirnya menyengsarakan?" tanya saya. Willy pun mulai tersenyum sambil berkata pelan "Ya, beginilah jalan hidup saya!" Saya tak mau kalah "Dulu Ati juga tidak kalah gilanya, tapi mau bertobat. Seharusnya kamu pun bisa bertobat" "Nanti setelah keluar dari sini, saya akan mengikuti jejak Koko" jawab Willy. "Bener nich? Kalau kamu nggak bertobat, malu-maluin Koko kamu yang jadi pelayan Tuhan" kata saya sekenanya. "Oh iya tho Mbak?! Memangnya Koko mau jadi pendeta ya? Saya juga nggak tahu tuh, kenapa Koko bisa berubah begitu?" Willy keheranan. "Yang aneh bukan Koko, tapi kamu yang keras kepala, nggak mau ndegerin kata-kata Koko kamu. Kamu harusnya sadar, sudah banyak pengorbanan Koko untuk kamu, mama dan adik-adik kamu. Besok kalau Koko kamu pergi sekolah lagi, seharusnya kamu yang mengambil alih tanggung jawab keluarga" saya menasehati. "Iya Mbak, saya janji kalau nanti sudah bebas, saya akan kerja baik-baik biar dapat uang. Makanya tolong bilang ke Koko untuk segera mengeluarkan saya dari sini" Willy memohon dengan wajah yang sudah mulai ramah. "Saya nggak janji lho, Ati orangnya pantang untuk menyuap atau memberi uang pelicin. Ati maunya Willy melalui proses hukum yang normal" jawa saya.

Ketika bel tanda jam besuk berakhir, saya pun begegas keluar. Sama seperti waktu masuk, untuk keluarpun saya harus melewati beberapa kerangkeng besi yang dilengkapi dengan gembok yang teramat besar. Sebelum saya meninggalkan gerbang paling depan, saya menengok ke kanan dan ke kiri untuk meyakinkan bahwa tidak ada teman atau kenalan yang melihat saya keluar dari hotel prodeo itu. Begitu yakin tidak ada seorang pun yang saya kenal di sekitar jalan Percetakan Negara itu, saya pun berusaha kabur secepat mungkin.

Di sepanjang perjalanan dari rutan Salemba hingga Bogor, telapak tangan kanan saya berusaha menutup punggung tangan kiri saya yang masih menyisakan stempel. Di bis, sesekali saya mengintip stempel di tangan saya seraya berkata "Inilah hadiah yang terindah buat seorang terpenjara". Hadiah terindah yang saya berikan memang bukanlah oleh-oleh materi yang kasat mata, tetapi kerelaan saya merendahkan diri, menyangkal keinginan daging dan kesanggupan melewati perjuangan yang panjang untuk bisa melawat dan "jongkok bersama" dengan orang terpenjara yang merupakan sampah di mata masyarakat umum.

sumber http://artikel.sabda.org/hadiah_terindah_untuk_seorang_terpenjara